Me, My Self, and I

Saturday, August 30, 2014

I Miss You. I Really Do.

I miss you.

Simple words. Deep feelings. Scary thought. Because you are not here and I can tell you those words.

I remember the memories we had. I thought we would still have years to come. I thought we would still have chances to take. I thought there was still time.

But I am losing you. Maybe I have lost you for some time. I just did not realize. You are away and I am left here.

I miss talking with you. I miss hanging around you. I miss sitting beside you. You would be busy with your own thoughts and I would look at the sky trying to find any constellation. It's funny because I know nothing about constellation. It's just always something relaxing about the stars. It's like meditation, for my mind, for my body, for my soul.

I love you. More than you think. People would say I'm in love with you. Sometimes, I even think that you are my soulmate. But what is love? What is soulmate? I know nothing. What I know is I love you.

And I miss you. So much. I need nothing to tell you about it. I know you just know how much I miss you. Like Bon Jovi said, "This ain't a love song." So I don't need all the bullcrap.

I miss you. And it hurts cause I know you aren't here.

I miss you. I really do.


This is for you, my star.

Friday, August 29, 2014

More Than 'Forever'

"So, after living in Bali for 2 months, do you have somebody to introduce? That potential enough to be my new boyfriend?"

"Nobody. It's kind of impossible, you know, sis?"

"Why is that?"

"Well, I know Big Bro would think and say the same thing about this. You are our only sister. No man, once again, no man will be good enough for you, in our eyes. Even if he is the best man alive in this earth, we'll always try to find his flaws."



"So, I better find the guy myself?"



"Yeah. You find the right guy for you, and we'll try to find any reasons to love him as well."



I think I would start to cry right a way if my little brother didn't ask me other things. It was the sweetest, nicest, and loveliest thing somebody has ever told me. More than just 'I love you'. More than 'You are my everything.' More than 'Forever.'


Thursday, August 29, 2014

Wednesday, August 6, 2014

Keretaku Sedang Mogok

Dalam perjalanan pulang dari Balige ke Pekanbaru, seperti biasa aku dan Tobias, keponakanku, kebagian tempat di bagasi mobil. Bagasi Terrano Pop dilapisi kasur gulung, di mana aku dan Tobias bisa menggulung badan sedemikian rupa agar muat untuk tidur. Sebagian barang diletakkan di sisi kanan, lalu diatasnya diletakkan bantal untuk alas kepala. Di sisi kiri, sebagian barang diletakkan dan kami bebas menumpangkan kaki-kaki kami di atasnya.

Sudah duapertiga perjalanan kami lewati. Malam sudah turun dari tadi. Mobil tampak gelap. Sesekali sinar dari lampu jalan dan lampu toko menerangi wajahku.

Tobias sudah tidur dari tadi. Tangannya diletakkan di atas perutku. Seperti biasa, merasa aman dan nyaman. Aku justru tidak bisa tidur.

Memikirkan Ompung Doli yang sudah tidak ada. Membayangkan hidupku setelah aku kembali ke Jakarta nanti. Mencemaskan adikku yang sudah berbulan-bulan masih terus menanti pekerjaan yang tepat. Mereka-reka kehidupan abangku bersama istri dan kedua anak mereka.

Sudah sebulan lebih aku melepaskan pekerjaanku yang terakhir. Walaupun mencemaskan isi tabungan yang semakin lama berkurang, belum ada semangat untuk berusaha mencari pekerjaan baru mati-matian.

Banyak mimpi yang mengantri untuk diwujudkan. Tapi belum ada semangat untuk memulainya. Terkadang aku merasa ingin meninggalkan keluargaku dan berkelana. Seperti momen 'me against the world', begitu.

Takut? Tentu. Manusiawi kan? Meninggalkan zona nyamanku dan melangkah ke zona yang sama sekali baru dan tidak dapat diprediksi.

Kuatir? Pasti. Wajar kan? Harus tinggal di mana, baiknya makan apa, mesti mengerjakan apa, bagusnya hidup dengan siapa.

Hmm... Sudah seringkali aku memikirkan hal-hal ini. Tapi belum ada keberanian untuk mengambil langkah. Pengecut? Mungkin. Tapi, tidak apalah. Sebut saja aku pengecut sesukamu. Tertawai aku seenakmu.

Tapi perjalananku masih dengan tiket yang sama. Masih dengan kereta yang sama. Mungkin nanti, aku akan membeli tiket yang baru. Dengan kapal. Atau pesawat. Atau bus. Atau berjalan kaki saja. Nantilah. Nanti saja. Keretaku sedang mogok. Montir sedang memperbaikinya. Aku akan menunggu sebentar lagi. Aku mau lihat tiket tanpa tujuan yang sudah kubeli ini akan membawaku ke mana. Ya, tunggu saja.

Saturday, August 2, 2014

See You Later, Pung!


Aku memesan taksi untuk pukul 3.30 WIB. Aku akan terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Medan dengan penerbangan pukul 6.00 WIB. Sendiri. Pierre tidak jadi ikut pulang. Sangat sulit mendapatkan tiket dari Denpasar ke Medan, maklum masih masa Lebaran. Sudahlah seat-nya sangat terbatas, mahal pula. Cuma ada penerbangan Garuda, dengan transit di Kuala Lumpur (whaaaatt....????), dengan harga lebih dari tiga setengah juta rupiah sekali jalan. Mau yang lebih murah, harus menggunakan beberapa maskapai berbeda dan berhenti di beberapa kota. Denpasar ke Jogjakarta. Jogjakarta ke Surabaya. Surabaya ke Jakarta. Jakarta ke Medan. Hah!


Tiba di Bandara Kuala Namu, Medan, aku berlambat-lambat keluar dari terminal. Ini kali ketiga aku berada di bandara ini dan segala sesuatunya masih terasa sangat asing bagiku. Saat berjalan di lantai dasar, tiba-tiba seseorang menyapaku. Kaget, karena ternyata yang menyapaku Dexon, adik tingkatku di F. Psi UI dulu. Kami naik ke lantai satu dan memilih tempat di salah satu kedai. Mengobrol. Bertukar nomor telepon. Berfoto. Sayang, Dexon harus segera melapor ke check-in counter dan masuk ruang tunggu. Senang rasanya bertemu kawan lama. Terakhir kami berjumpa mungkin 9 tahun yang lalu. Kami berpisah dengan janji akan terus saling mengabari.


Well, aku tahu aku sedang mengulur waktu. Aku mencari taksi (di Medan, taksi itu sebutan untuk mobil sewaan bersama, semacam omprengan di Jakarta) dengan lamban, akhirnya memutuskan menyewa ojek untuk sampai ke pinggiran kota dan mencari taksi di sana, menyetir mobil Tulang Jan dari kota Balige ke rumah dengan lambat, menolak untuk melihat peti di mana Ompung Doli dibaringkan.

Aku belum siap.

Lucu. Ketika 2 tahun lalu Ompung Boru berangkat ke surga tanpa sakit, meninggal saat sedang tidur nyenyak, aku tidak sesedih ini. Ya, aku sedih, tentu saja. Kenanganku bersama Ompung Boru pun tidak kalah banyaknya. Tetapi, aku bisa lebih tegar dan santai menghadapinya. Tapi, ini lain. Rasanya sebagian dari diriku ikut pergi bersama Ompung Doli.

Lucu. Karena rasanya seperti kehilangan soulmate. Mungkinkah belahan jiwa kita itu adalah kakek kita sendiri? Mungkin mustahil, tapi rasanya ya seperti itu.

Aku menunggu hingga rumah sepi. Hanya ada saudara kandung Mom dan keluarga inti mereka. Aku mendekati Ompung Doli. Membuka kain (entah apa sebutannya) yang menutupnya. Kupandangi wajahnya. Kusentuh keningnya. Kuraba dadanya. Kugenggam tangannya. Lalu menangis.

Kalau tidak sendiri, aku hanya menangis di depan orang-orang tertentu. Di depan orang-orang pilihanku. Aku tidak suka dan tidak mau menunjukkan kelemahanku.

Kuhabiskan beberapa menit untuk menangis. Tidak lama, hanya sebentar. Lalu aku berpaling pada kedua keponakanku untuk mengajak mereka bermain.

Tanpa mengucapkan selamat jalan.



Foto ini diambil keesokan harinya...

Friday, August 1, 2014

Sudah Selesai


F*ck! 
Aku merasa jantungku meloncat keluar dari dadaku.

SMS dari abangku cuma dua kata.

Tatte menelepon beberapa saat yang lalu. Mengabarkan bahwa Ompung Doli dalam keadaan kritis. Katanya karena dehidrasi parah. Ditambah stroke luhur. Juga karena memang tubuhnya sudah tua.

Oh, come on! 79 years old, people. Banyak orang yang masih bertahan hidup, sehat pula, hingga usia 90 tahun.

Wake up, Bee! Ompung Doli itu petani. Tukang kayu gratisan karena hanya bekerja untuk keluarga. Tukang bangunan paruh waktu. Mengisap 2 bungkus rokok kretek sehari selama puluhan tahun. Memang bisa dibilang jarang minum minuman beralkohol. But, what do you expect?

Aku menelepon Pop. Tatte. Mom. BG. Confirmed, Ompung Doli sudah berangkat ke rumah Bapa di surga. Aku mengabari Pierre, adikku. Lalu mulai membuka internet untuk mengecek tiket pesawat. Pulang. Ke Balige.

Sekarang, aku baru punya waktu untuk mengingat kembali semua penggalan cerita di masa lalu, yang menampilkan Ompung Doli sebagai tokoh utama atau pemeran pendukung.

Ompung Doli yang selalu tampil necis. Sepatu putih. Kemeja. Topi. Rokok di sela-sela bibir.
Ompung Doli yang selalu membiarkanku menjadi bayangannya.
Ompung Doli yang tiba-tiba muncul saat subuh pertama setelah aku opname dan menghilang lagi petangnya.
Ompung Doli yang menolak ikut berlibur ke Bali hanya karena aku tidak mau ikut karena satu dan lain hal.
Ompung Doli yang selama setahun terakhir sering kali berkata, "Kalau aku sudah tidak ada, siapa yang akan menjagamu?"
Ompung Doli yang tidak banyak bicara.
Ompung Doli yang sabar dan tidak pernah marah.

Hatiku sakit. Rasanya seperti sedang patah hati setelah diputuskan pacar, hanya saja sakitnya berpuluh-puluh kali lebih parah. Aku merindukannya. Sangat.

Otakku mengerti, Ompung Doli sudah terbebas dari semua sakit fisik dan penderitaan dunia. Dia dijemput Bapa karena di rumah Bapa dia sudah pasti akan lebih baik dan lebih bahagia. Tapi hatiku menolak untuk paham. Berpuluh-puluh kali sudah kukatakan aku rela melepaskannya pergi, berjuta-juta kali kukatakan itu bohong.

Nanti. Aku akan melepaskannya dengan rela. Nanti.

Tidak sekarang.


Nanti.