Me, My Self, and I

Friday, August 31, 2012

Aku dan Barang Gratisan

Yang namanya dapat barang gratisan, itu sangat jarang terjadi padaku. Tidak dalam undian berhadiah, atau sayembara, atau kuis, atau doorprize di acara kantor! Kalau mendapat kesempatan menarik lucky dip, sudah syukur banget bisa memperoleh hadiah hiburan. Mungkin terjadi sekali di antara sepuluh lucky dip.

Goodie bag yang didapat dari acara seminar dan sebangsanya tidak bisa dibilang barang gratisan kan? Setidaknya, aku membayar biaya seminar, lho! Dan bonus sampel krim wajah atau cairan pencuci yang didapat dari majalah juga tidak bisa dibilang barang gratisan. I pay for the mag, you know.

Masih ingat my buddy, Lia Lopez? Dia juga punya masalah yang sama. Dalam acara apa pun yang diselenggarakan perusahaan (sewaktu kami masih bekerja di tempat yang sama), kami tidak pernah membawa pulang hadiah doorprize apa pun. Kami cuma bisa memandang para pemenang menenteng hadiah mereka dengan tatapan iri.

Kami tidak iri pada hadiah mereka. Sungguh. Kami iri pada keberuntungan mereka!

My little brother once said, "Sis, there's no such a luck!"


Baiklah. Mungkin keberuntungan memang tidak ada. Mungkin aku dan Lia Lopez dan sebagian orang lainnya bukan orang yang beruntung. Mungkin kami hanya tidak cocok dengan barang gratisan!

Rasanya sulit membayangkan mendapatkan barang gratisan begitu saja.
Dulu, aku harus membuat pertaruhan-pertaruhan dengan Pop dan Mom untuk mendapatkan sesuatu. Masuk tiga besar di kelas supaya bisa liburan ke Borobudur. Lulus UMPTN supaya dibelikan braces untuk meratakan gigi. Menyetrika baju setiap hari untuk sedikit uang jajan. Menguruskan badan untuk mendapatkan laptop.

Tapi semuanya memberiku pelajaran. Apa yang kudapat melalui usaha dan perjuangan akan kujaga dengan baik. Mendapatkan barang gratisan memang asyik. Tapi berhasil memperoleh sesuatu melalui kerja keras, terasa jauh lebih memuaskan!

Tuesday, August 28, 2012

Mantik

Pride.

Seseorang pernah kudengar berkata, "Kau boleh ambil semua yang kumiliki, except my pride. Biarkan aku memilikinya, karena cuma itu yang bisa kujaga atas pertaruhan apa pun."


Ketika itu, aku hanya tersenyum. Temanku itu menikah dengan seorang pria karena orangtuanya berhutang cukup banyak pada keluarga suaminya. Walaupun sulit membayangkan kisah Siti Nurbaya di zaman modern ini, kisah temanku sangat nyata kupahami. Kata-kata di atas keluar dari mulut temanku saat sang suami suatu hari memaksanya berhubungan intim ketika ia tengah haid pertama setelah melahirkan anak keduanya.

Ompung boru, nenekku dari pihak Mom, sering mengatakan, "Mantik di sana, lebih mantik di sini!" (mantik bisa diartikan sok, sombong, yah semacamnya-lah!).


Baru-baru ini, dalam acara pemakaman ompung boru, abangku menyinggung kata-kata itu dalam sambutannya. "Perempuan memang harus mantik, harus punya harga diri. Jangan mau direndahkan oleh siapa pun, apalagi lelaki."

Aku sendiri tidak pernah menganggap 'sombong' dapat mengartikan diriku. Belum ada yang pernah menyebutku sombong, kecuali saat ingin mengeluhkan betapa sulitnya berkomunikasi atau bertemu denganku. Tidak ada yang bisa kusombongkan, walaupun aku bisa membuat daftar hal-hal yang kubanggakan.

Namun, saat seseorang merendahkan atau meremehkan diriku, sungguh sangat tidak tahan rasanya mengekang lidah untuk menyombong. Saat ada orang yang mencoba mendefinisikan aku dengan omong kosong yang cuma dikarangnya di dalam kepala, sungguh sangat sulit rasanya menahan kepalan untuk menjotos.

Pride. Harga diri. Sombong. Mantik.


Ah, terserahlah! Yang jelas, aku yang paling tahu bagaimana diriku. Walaupun kadang aku membutuhkan orang lain untuk lebih mengenali diri. Orang lain, sebagai cermin. Ya, cuma cermin. Sombong? Mungkin saja. Mantik? Biar saja. Itu hanya salah satu dari bagian harga diriku kok!

Saturday, August 25, 2012

Aku dan Lia Lopez: Summa Cum Laude

Salah satu sahabatku, Lia Lopez, suka sekali bercerita. Kalau bercerita, topiknya bisa berganti haluan tiap dua menit. Bahkan ia sangat jarang memberi jeda di antara dua topik yang berbeda. Seakan-akan dia tidak perlu bernapas saat bercerita.

Suatu waktu, entah sedang bercerita tentang apa, tiba-tiba aku bertanya, "IPK-mu waktu lulus S2 berapa?"

"3.8," katanya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Anjriiit....! Padahal kau waktu ambil S2 sambil kerja ya?" Dia bekerja sebagai English teacher di sebuah SMP. "IPK S1 berapa?"

"4.00," katanya lagi.

Aku sempat melongo untuk beberapa detik. "Kau lulus 3.5 tahun dengan summa cum laude?"

Dia tertawa kecil. "Biasa aja lagi, Bee. Lagian, waktu itu, permasalahan HKBP pas lagi puncak-puncaknya. Bapakku (pendeta, red) digaji-nggak digaji. Mamaku sudah nggak kerja. Aku anak paling besar. Harus cepat lulus dan bekerja kan?"

Tetap saja, lulus strata satu selama 3.5 tahun dengan predikat summa cum laude, rasanya ajaib sekali! Apalagi bagiku, yang lulus enam tahun hanya dengan IPK cukup makan.

"Cuma UNRI, Bee. Malah buat aku, kuliah di UI kayak kau tuh cuma bisa dimimpiin. Bahkan buat mimpi aja, aku ga berani. Levelnya di atas kemampuanku banget."

Tetap saja, lulus dengan transkrip nilai yang isinya A semua, rasanya menakjubkan sekali! Apalagi bagiku, yang dapat C saja sudah sangat bersyukur.

Predikat cum laude, atau bahkan summa cum laude? Memimpikannya saja aku tidak berani!

Tuesday, August 21, 2012

Aku dan Willie Nelson

Satu minggu ini, aku selalu terngiang sama suara Willie Nelson yang menyanyikan "Always On My Mind". Lagi mandi, lagi makan, lagi baca buku, lagi menghajar senar gitar, ituuuu terus yang terngiang. Seakan MP3 playerku memainkan lagu itu play one tanpa henti lewat speaker di seluruh sudut rumah.

Tiba-tiba jadi ingat masa lalu.

Waktu masih kelas VI SD, aku dapat hadiah sebuah kaset berisi lagu-lagu country lewat sebuah perlombaan di Sekolah Minggu. Salah satu lagunya, ya lagu si Willie Nelson ini. Memang kasetnya sendiri sudah tidak ketahuan lagi rimbanya, tapi aku masih ingat lagu tersebut ada di Side A, lagu kedua terakhir.

Ketika akhirnya berpacaran pertama kali (tsaaahh!) sewaktu kelas III SMP, lagu ini belum menjadi istimewa. Aku sedang tergila-gila pada Guns 'n Roses, terutama pada "November Rain"-nya (sampai sekarang pun aku masih tergila-gila pada mereka). Aku masih termehek-mehek tiap mendengar lagu-lagu Reba McIntyre dan Garth Brooks.

Masuk SMU (pada zamanku, lanjutan SMP kembali menjadi SMU dan sistem semester kembali menjadi caturwulan), aku naksir berat pada seorang cowok berandal yang cerdas selama 3 tahun sampai akhirnya berhasil memacarinya hanya selama 49 hari! Jiaaahh....!! Selama penantian itulah, rasanya suara Willie Nelson terdengar lebih seksi dan menggetarkan hati dan lirik lagunya lebih bermakna seakan-akan menjadi soundtrack film kehidupanku.

Bertahun-tahun setelah itu, bahkan setelah kami putus dan berjalan masing-masing dengan orang yang lain, lagu itu masih terasa istimewa.

Tiga tahun sudah. Lagu itu hampir tidak pernah kudengar lagi. Versi Elvis Presley menyanyikan lagu tersebut masih kusimpan dalam handphone-ku. Sesekali aku masih mendengarnya. Tapi suara Elvis yang tidak ada duanya tidak mengirimkan getaran apa pun pada hatiku. Entah kenapa, pesona lagu itu seperti hilang dari kehidupanku. Dalam susah, senang, sedih, bahagia....seakan lagu itu tidak muncul dalam ingatan.

Dan tiba-tiba....Willie Nelson datang lagi. Kali ini dalam versi MPEG-4 yang ku-download dari YouTube. Dengan suara seksi dan menggetarkan hatinya. Tidak sebagus Josh Groban atau seseksi Rod Steward memang, tapi kembali membuatku berdebar-debar.

Aku merindukan seseorang. Bukan, bukan si cowok berandal yang cerdas. Dia sudah menikah sekarang, dan sangat tidak pantas merindukannya. Oke, aku merindukan kenangan kami, tapi tidak merindukannya. Bagaimana pun, kenangan bersamanya yang menguatkanku saat-saat bergumul dengan masa remaja dan masa kuliah.

Bukan pula si pacar 6 tahun-ku yang kutinggal begitu saja karena aku melarikan diri ke Malaysia. Seorang sahabat mengatakan dia masih mengharapkanku dan tidak mau menjalin hubungan dengan perempuan lain. (Oh, Tuhan, kirimkan perempuan yang tepat untuknya!). Oke, aku mengenang hal-hal indah yang pernah terjadi di antara kami, tapi tidak mengenangnya.

Aku merindukan seseorang. Sosoknya tidak jelas. Dan semakin tidak jelas tiap kali aku mencoba merangkai raut wajahnya. Aku tidak tahu apakah aku memang mengenalnya. Apakah aku pernah mencintainya? Kalau iya, apakah aku masih mencintainya sekarang? Kalau iya, kenapa sosoknya makin lama makin tidak jelas?

Pagi ini, Willie Nelson berbicara lagi lewat "Always On My Mind" di headphone MP5-ku. Entah kenapa, ada hubungan khusus antara aku dengan suara Willie Nelson. Rasanya, lagu Willie Nelson yang kutahu cuma yang satu ini. Tapi hatiku berdebar. Bahkan tanganku gemetar. Kucoba mencari sosok yang kurindukan melalui visualisasi dalam benakku. Wajahnya kini tertutup kabut, yang semakin lama semakin tebal. Seandainya saja matahari datang menghalau kabut itu turun.

Sunday, July 22, 2012

Sst...Jangan Berisik, Tuhan Sedang Bekerja!

Sudah hampir tiga minggu, aku terjebak di suatu tempat yang tidak seharusnya.  Tanpa bebas melakukan apa pun (namanya juga terjebak!), bahkan hanya untuk merencanakan sesuatu.  Semuanya serba menunggu, entah apa yang ditunggu.

Mungkin sudah banyak hal yang kulakukan untuk melepaskan diri dari keterjebakan ini.  Walaupun belum semuanya.  Mereka bilang belum waktunya aku menyerah dan berputus asa.  Waktu masih panjang, badan masih kuat, otak masih jalan...

Tapi rasanya, sudah tidak sanggup lagi.  Hari berlalu seperti sepeda motor yang dipacu di sirkuit.  Tubuh semakin lama semakin lelah dan perjalanan umur tidak dapat dihambat.  Benak tidak dapat lagi diajak kompromi untuk memikirkan hal-hal penting yang memang harus dipikirkan.

Atau mungkin hal-hal yang selama ini dianggap penting, sebenarnya tidak penting lagi...

Pernahkah kau merasa bahwa usaha apa pun akan sia-sia, dan perjalanan yang kau tempuh terlihat tidak mempunyai ujung dan akhir?

Aku tahu, perjalananku masih panjang, sangat panjang.  Tapi, aku percaya, langkahku suatu saat akan berakhir di sebuah ujung jalan, di mana aku akan berhenti (walaupun sejenak) untuk beristirahat sebelum aku menempuh perjalanan lainnya dengan jalan dan ujung yang berbeda.

Ah, kakiku sudah semakin melemah.  Dan aku cuma bisa menangis cengeng dan berbisik, "Tuhan, biarkan aku beristirahat sejenak.  Berikan aku kelegaan walaupun untuk sekejap."  Aku menyerah.  Dan akhirnya cuma bisa berserah.

Entah apa yang dijawab Tuhan.  Aku cuma bisa percaya; saat ini aku berhenti untuk berdiam diri --mencoba mengistirahatkan kaki-kakiku-- dan menyerahkan bendera perjuangan pada Tuhan.  Hahaha...mungkin kau sedang mengejekku karena menyerah semudah ini.  Masa seenaknya mengeluh lalu menyuruh Tuhan mengambil alih perjalanan?


Sst...jangan berisik, Tuhan sedang bekerja!

Sunday, July 1, 2012

"Hi, Bulan Ketujuh, ini Bee"

Hi, hi, hi, beautiful Sunday
This is my, my, my, beautiful day
When you say, say, say that you love me
Oh, my, my, my it's a beautiful day
"Beautiful Sunday" - Daniel Boone


Hari pertama di bulan yang baru.  Rasanya cepat sekali waktu berlalu.  Seperti baru tadi malam saja aku menyalakan kembang api menyambut kabisat 2012, sekarang tiba-tiba saja sudah masuk ke bulan yang ketujuh!

182 hari sudah berlalu.  Banyak sekali yang sudah terjadi.  Yang menyenangkan, yang menyedihkan.  Tidak pernah berhenti menghitung, syukur-syukur daftar hal yang membahagiakan akan lebih banyak terisi daripada yang menyakitkan.  Yang patut disyukuri sudah pasti perlu berlembar-lembar kertas untuk menuliskannya.  Yang harus disesali, tentu saja tidak ada.  Kosong.  Memang seharusnya begitu.


Masih ada 184 hari lagi yang harus dijalani.  Entah akan diisi dengan apa.  Sebagai the real risk-taker, aku yakin I will stay the same.  Hadapi saja apa yang ada di depan mata.  Ambil saja tiap kesempatan yang tersedia.  Masalah yang muncul belakangan, dipikirkan belakangan saja.


Adikku pernah berkata, "Sis, please mind you're getting older and older..."


Betul, kita bertambah tua.  Badan bertambah lelah.  Umur tidak bisa dihambat.  Isi kepala?  Orang bilang, tiap pertambahan umur harus dibarengi dengan peningkatan level kedewasaan.  Kedewasaan dalam berpikir, maksudnya.


Pada akhirnya, dewasa  itu cuma sebuah kata yang tidak mungkin dicapai.  Artinya, tidak ada titik akhir di mana kita mengatakan, "Dia orang yang dewasa dalam berpikir."  Yang ada hanya perjalanan menuju kedewasaan berpikir, tanpa ada titik puncak.  Tidak ada parameter universal untuk kedewasaan dalam berpikir.


Saat kita merasa sudah dewasa, selalu masih ada saja level lanjutan di atasnya yang membuat kita mengerut dan berbisik malu, "Ternyata saya belum dewasa."  Sama seperti aktualisasi diri.  Tidak pernah ada titik akhir dalam mengaktualisasikan diri.  Selalu ada target-target baru yang akan kita tetapkan untuk dicapai.  So, why bother?


Mind the pasts, mind the new month, mind that you're not doing something.  Pada dasarnya, tiap orang melakukan sesuatu; apakah itu berbuat sesuatu untuk mencapai sebuah target ataupun hanya berdiam diri menunggu berkah turun dari langit.


OK, Bulan Ketujuh, mari berteman baik selama 31 hari ke depan.  Jangan terlalu keras padaku, dan jangan pula acuhkan aku.  Mari berbaik-baik, biar aku bertemu Bulan Kedelapan dengan senyum lebar.


Hari Minggu yang cerah, pagi yang tenang, waktu yang tepat untuk berkenalan kembali.  


"Hi, Bulan Ketujuh, ini Bee."

Saturday, June 30, 2012

Save Your Soul

Bagian yang paling melelahkan adalah ketika semua orang berpikir aku selalu kuat.  Selalu bersedia mengalah.  Selalu bisa mengerti.

Saat aku lemah, orang bilang aku cengeng.  Saat aku kuat, orang bilang sudah seharusnya.  Saat aku mengeraskan hati dan kepala, orang bilang aku kurang ajar dan arogan.  Saat aku mengalah, orang bilang sudah selayaknya.

Sekeras kepala apa pun, selalu akhirnya bisa mengalah, hanya karena aku takut menyakiti orang lain lebih dalam lagi.  Sebenar apa pun aku, tidak pernah ada kata rayuan atau bujukan.  Luka hati yang ada sudah tidak terhitung banyaknya karena tidak pernah sembuh sejak masih gadis kecil yang minta dimanja.

Yang harus dilihat adalah aku yang kuat, yang berani, yang kasar.  Dengan begitu, orang lain tidak bertambah susah.

Hanya seorang sahabat yang pernah berkata padaku, "Di balik sikapmu yang kasar, sebenarnya hatimu sangat lembut."
Tapi, dia juga yang tidak pernah percaya kalau kukatakan aku sedang lemah.

Aku capek menjadi kuat.  

Sekali saja, ingin rasanya ada yang mengatakan, "Tidak apa, Bee, kalau mau menangis, menangislah.  Setelah berhenti, diam dan bangkit kembali."

Sekali saja, ingin rasanya ada yang membisikkan, "Tidak apa menjadi lemah untuk saat ini, Bee.  Aku akan menjadi kekuatanmu."

Bertahun-tahun menanti, tidak ada juga yang berani maju dan menarik telingaku untuk meneriakkan kata-kata itu.  Dan aku belajar, bahagia itu bukan apa yang sudah kita miliki, melainkan menerima apa pun yang sudah kita punya dan tidak kita punya dengan rasa syukur.  Bahagia itu cuma kata abstrak yang harus dikonkretkan dalam hati dan pikiran masing-masing.

Tidak ada yang tersisa untuk disesali atau direnungkan terlalu lama.  Tidak perlu menjadi pahlawan dan kekuatan bagi orang lain.

Save your own soul.  Itu aja.

#CatatanSiBee: June 22, 2012
Di suatu sore yang tenang, saat rasanya tidak ada lagi alasan untuk meneruskan perjalanan, kepala berbisik pada hati, atau hati yang berteriak pada kepala, entahlah, sang jiwa terhempas ke lautan hitam dan dalam...

Thursday, April 26, 2012

Tak Pernah Berhenti Belajar

Beberapa hari terakhir, Pop dan Mom sering sekali bertanya tentang Facebook.  Akhirnya, hari ini aku berbaik hati membuatkan akun baru untuk mereka.  Kupikir, mungkin memang sudah waktunya mereka ikut menyesuaikan langkah dalam dunia teknologi informasi yang maju.

Setelah membuka akun baru untuk masing-masing mereka, aku membantu mereka mencari teman-teman untuk mengisi daftar teman.  Pop ingin mempromosikan usaha miliknya, CV Butuha Bosi.  Mom ingin mencari teman-teman lama yang sekarang sudah tercerai-berai ke seluruh dunia (halah!).

Sekarang sudah tahun 2012.  Pop dan Mom sudah jadi Grandpa dan Grandma, setidaknya untuk kedua keponakanku,  Tobias dan Adrienne.  Pop sudah pensiun dari Chevron dan Mom sudah pensiun dari HKBP sebagai guru Sekolah Minggu (atau sedang cuti tanpa batas waktu saja ya?).

Sehari-hari, Pop sibuk bekerja.  Bertemu dengan si anu, meeting dengan si ini, membicarakan tender dengan bapak X.  BBM-nya sudah mulai ramai dengan kolega-kolega.  Email pun semakin sering dibuka.

Sementara, Mom ingin menambah warna baru dalam hidupnya (ndeh!).  Selain sibuk dengan tim doa di gereja, menghadiri kebaktian dan latihan koor ibu-ibu, mengurus cucu-cucu, menitip jajanan di kantin sekolah, dan tentu saja menjadi ibu rumah tangga, pekerjaan tanpa masa pensiun!

Kembali ke Facebook.  Rasanya memang sudah waktunya mereka mengikuti perkembangan zaman.  Walaupun gaptek (gagap teknologi) dan hanya memahami simple English, walaupun lahir dan besar di kampung, walaupun tidak secanggih orang ibukota, Pop dan Mom sudah maju selangkah lagi.

Bukan ganjen atau sok melek teknologi.  Daripada pensiun dari pekerjaan terus duduk-duduk saja di rumah menunggu badan layu, atau cuma ikut arisan dan kumpul-kumpul ibu-ibu, atau menggilir rumah anak-anak untuk dikunjungi...  

Mungkin Facebook bisa membawa angin segar dalam hidup Pop dan Mom.  Mungkin juga malah membuat mereka stres karena menyadari betapa mereka sudah pantas disebut "generasi dulu".

60 tahun.  52 tahun.  Umur semakin bertambah.  Tapi, bukan berarti setelah itu hidup cuma untuk mempersiapkan sepetak tanah untuk tempat perhentian kan?

Bumi masih berputar, lho!  Dan aku bangga mengatakan hal ini pada kalian.  "Pop dan Mom-ku sudah punya Facebook!  Gaya!  Up-to-date!  Pop dan Mom tak pernah berhenti belajar.  Itu sebabnya aku pun tidak mau berhenti belajar!"

PS. Bahkan Pop tadi bertanya tentang Twitter dan Mom bertanya tentang YouTube :)