Friday, August 1, 2014
Sudah Selesai
F*ck!
Aku merasa jantungku meloncat keluar dari dadaku.
SMS dari abangku cuma dua kata.
Tatte menelepon beberapa saat yang lalu. Mengabarkan bahwa Ompung Doli dalam keadaan kritis. Katanya karena dehidrasi parah. Ditambah stroke luhur. Juga karena memang tubuhnya sudah tua.
Oh, come on! 79 years old, people. Banyak orang yang masih bertahan hidup, sehat pula, hingga usia 90 tahun.
Wake up, Bee! Ompung Doli itu petani. Tukang kayu gratisan karena hanya bekerja untuk keluarga. Tukang bangunan paruh waktu. Mengisap 2 bungkus rokok kretek sehari selama puluhan tahun. Memang bisa dibilang jarang minum minuman beralkohol. But, what do you expect?
Aku menelepon Pop. Tatte. Mom. BG. Confirmed, Ompung Doli sudah berangkat ke rumah Bapa di surga. Aku mengabari Pierre, adikku. Lalu mulai membuka internet untuk mengecek tiket pesawat. Pulang. Ke Balige.
Sekarang, aku baru punya waktu untuk mengingat kembali semua penggalan cerita di masa lalu, yang menampilkan Ompung Doli sebagai tokoh utama atau pemeran pendukung.
Ompung Doli yang selalu tampil necis. Sepatu putih. Kemeja. Topi. Rokok di sela-sela bibir.
Ompung Doli yang selalu membiarkanku menjadi bayangannya.
Ompung Doli yang tiba-tiba muncul saat subuh pertama setelah aku opname dan menghilang lagi petangnya.
Ompung Doli yang menolak ikut berlibur ke Bali hanya karena aku tidak mau ikut karena satu dan lain hal.
Ompung Doli yang selama setahun terakhir sering kali berkata, "Kalau aku sudah tidak ada, siapa yang akan menjagamu?"
Ompung Doli yang tidak banyak bicara.
Ompung Doli yang sabar dan tidak pernah marah.
Hatiku sakit. Rasanya seperti sedang patah hati setelah diputuskan pacar, hanya saja sakitnya berpuluh-puluh kali lebih parah. Aku merindukannya. Sangat.
Otakku mengerti, Ompung Doli sudah terbebas dari semua sakit fisik dan penderitaan dunia. Dia dijemput Bapa karena di rumah Bapa dia sudah pasti akan lebih baik dan lebih bahagia. Tapi hatiku menolak untuk paham. Berpuluh-puluh kali sudah kukatakan aku rela melepaskannya pergi, berjuta-juta kali kukatakan itu bohong.
Nanti. Aku akan melepaskannya dengan rela. Nanti.
Tidak sekarang.
Nanti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment