Aku memesan taksi untuk pukul 3.30 WIB. Aku akan terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Medan dengan penerbangan pukul 6.00 WIB. Sendiri. Pierre tidak jadi ikut pulang. Sangat sulit mendapatkan tiket dari Denpasar ke Medan, maklum masih masa Lebaran. Sudahlah seat-nya sangat terbatas, mahal pula. Cuma ada penerbangan Garuda, dengan transit di Kuala Lumpur (whaaaatt....????), dengan harga lebih dari tiga setengah juta rupiah sekali jalan. Mau yang lebih murah, harus menggunakan beberapa maskapai berbeda dan berhenti di beberapa kota. Denpasar ke Jogjakarta. Jogjakarta ke Surabaya. Surabaya ke Jakarta. Jakarta ke Medan. Hah!
Tiba di Bandara Kuala Namu, Medan, aku berlambat-lambat keluar dari terminal. Ini kali ketiga aku berada di bandara ini dan segala sesuatunya masih terasa sangat asing bagiku. Saat berjalan di lantai dasar, tiba-tiba seseorang menyapaku. Kaget, karena ternyata yang menyapaku Dexon, adik tingkatku di F. Psi UI dulu. Kami naik ke lantai satu dan memilih tempat di salah satu kedai. Mengobrol. Bertukar nomor telepon. Berfoto. Sayang, Dexon harus segera melapor ke check-in counter dan masuk ruang tunggu. Senang rasanya bertemu kawan lama. Terakhir kami berjumpa mungkin 9 tahun yang lalu. Kami berpisah dengan janji akan terus saling mengabari.
Well, aku tahu aku sedang mengulur waktu. Aku mencari taksi (di Medan, taksi itu sebutan untuk mobil sewaan bersama, semacam omprengan di Jakarta) dengan lamban, akhirnya memutuskan menyewa ojek untuk sampai ke pinggiran kota dan mencari taksi di sana, menyetir mobil Tulang Jan dari kota Balige ke rumah dengan lambat, menolak untuk melihat peti di mana Ompung Doli dibaringkan.
Aku belum siap.
Lucu. Ketika 2 tahun lalu Ompung Boru berangkat ke surga tanpa sakit, meninggal saat sedang tidur nyenyak, aku tidak sesedih ini. Ya, aku sedih, tentu saja. Kenanganku bersama Ompung Boru pun tidak kalah banyaknya. Tetapi, aku bisa lebih tegar dan santai menghadapinya. Tapi, ini lain. Rasanya sebagian dari diriku ikut pergi bersama Ompung Doli.
Lucu. Karena rasanya seperti kehilangan soulmate. Mungkinkah belahan jiwa kita itu adalah kakek kita sendiri? Mungkin mustahil, tapi rasanya ya seperti itu.
Aku menunggu hingga rumah sepi. Hanya ada saudara kandung Mom dan keluarga inti mereka. Aku mendekati Ompung Doli. Membuka kain (entah apa sebutannya) yang menutupnya. Kupandangi wajahnya. Kusentuh keningnya. Kuraba dadanya. Kugenggam tangannya. Lalu menangis.
Kalau tidak sendiri, aku hanya menangis di depan orang-orang tertentu. Di depan orang-orang pilihanku. Aku tidak suka dan tidak mau menunjukkan kelemahanku.
Kuhabiskan beberapa menit untuk menangis. Tidak lama, hanya sebentar. Lalu aku berpaling pada kedua keponakanku untuk mengajak mereka bermain.
Tanpa mengucapkan selamat jalan.
Foto ini diambil keesokan harinya...
No comments:
Post a Comment